30 MENIT BERSAMA HUJAN

Suatu pagi dingin ketika sedang dalam perjalanan dari asrama Cebeci Erkek Öğrenci Yurdu ke taman Güvenpark di Kizilay, setetes butiran sejuk menyentuh lembut wajah saya sembari menunjukkan wajah kesedihannya. Dia pun menemani perjalan pagi saya sembari berbincang dan berbagi cerita.

Setiap titik hujan yang jatuh ke bumi mengajarkan kita tentang bentuk kerendahan hati, kelembutan, membaur dan melebur. Memberikan kehidupan bagi makhluk lainnya. Bukanlah sebuah penghargaan yang dicari, tapi symbol pengharapan yang diberikan. Ia mengubah kemiskinan dengan kemakmuran, paceklik dengan kesuburan, mati dengan hidup dan kepanasan bertahun dengan kesejukan tanpa batas, penghalang, umur, species, warna kulit, agama dan suku. Ia hanya mengetahui bahwa ini adalah tugas dan titah dari Sang Penciptanya, sehingga ia tidak memerlukan sebuah cawan berlapiskan emas atau perak, berhiaskan permata agar makhluk bumi bias meneguk kesejukan dirinya.

“Cukup sebuah tangan yang hatinya bersih dan suci ataupun sebuah gelas plastik daur ulang murahan, karena rasaku tetaplah sama, tidak sedikitpun berubah dan beda. Kalaupu berbeda maka itu rasamu bukan rasaku” Hujan berucap. Karena ia adalah rezeki dari Tuhan kepada semua hambaNya, bukti cintaNya yang tidak akan pernah pudar oleh waktu dan apapun.
Itulah hakikat eksistensi hujan, memberikan harapan bagi mereka yang masih dan terus mendiami bumi Allah.

“Mengambil kehidupan dan kebahagiaan bukanlah sunnahku. Tak pernah terbersit niat untuk mengambil kekasih, orang tua, kerabat dan sahabat-sahabat terbaik kalian, itu bukan salahku, tapi salahmu.” Keluhnya padaku disuatu pagi dingin.

“Kalian lah yang terlalu sombong, serakah sehingga mengambil rumahku ketika ku turun ke Bumi, memotong, memisahkan, dan mengambil sahabat-sahabatku pohon dari orang tua mereka tanpa hak dan tanpa hati.” Tambahnya semakin mengharu. “aku pun tumpah ruah, tak terkendali lagi, mengambil kehidupan sahabat-sahabat kalian juga, menghancurkan rumah-rumah kalian” keluhnya sambil terus terisak-terisak.

“Sahabatku penghuni bumi Allah…maafkan…, jika terkadang kehadiranku bukannya memberikan harapan, kehidupan dan kesejukan, tapi sebaliknya. Sungguh aku tak berdaya, aku hanya mengikuti takdirku, aku tidak dianugrahi hati dan seperti kebanyakan kalian. Tidak pula diberikan pilihan untuk memilih karena aku telah ditentukan kadarku. Andai hati dan pikiran kumiliki, pasti kan kuhentikan jika aku tumpah ruah berlebihan.” Tambahnya dengan penyesalan yang semakin dalam.

Tapi apalah daya, aku hanyalah hujan. Butiran cairan lembut dari awan putih yang berubah hitam. Angin yang membawa arahku, matahari yang membentuk rupaku dan gunung yang kadang memaksaku turun. Aku hanya bisa mengalir, mensimponikan bunyi gemercik disungai, menghiasi keindahan pada tebing curam. Menyejukkan mata yang memandang, membersihkan tubuh yang kotor dan menjadi teman bermain kalian dimasa kecilmu. Karena itu adalah kebahagiaanku, hanya itu…tidak lebih. Aku hanyalah hujan…

Güvenpark, Ankara, Turki. 29/10/2010, 10:59

Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. (Q.S. Al-A’raf: 57)
Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Q.S. Ar-Ruum: 41)

Leave a comment

Filed under Curahan Pikiran

Leave a comment